Oleh : Nyoman Oketo
Agama adalah topik yang cukup menarik dan
digemari di negara kita. Bahasan tentang agama banyak berlangsung di berbagai
tempat dengan suasana akrab dan hangat, namun tidak jarang juga berubah menjadi
panas bahkan cendrung brutal. Misi agama sebagai penyebar kedamaian dan
ketentraman menjadi kehilangan bentuk aslinya bahkan tidak berlebihan kalau
dibilang menakutkan dan menghawatirkan. Bagaimana dengan jepang ?
Gambaran Umum
Jepang adalah negara sekuler, yang berarti
negara tidak ikut campur masalah agama. Dalam setiap data pemerintahan atau surat surat resmi lainya tentang identitas
penduduk, masalah agama tidak dicantumkan dan juga tidak akan pernah
ditanyakan. Dalam sistem pendidikan, mata pelajaran agama, sebagai mata
pelajaran tersendiri, seperti sistem pendidikan di Indonesia, tidak dikenal. Agama
hanya diajarkan sebagai bagian dari mata pelajaran sejarah, sedang dalam
kehidupan masyarakat, agama digolongkan sebagai kegiatan budaya. Kantor agama
mentri agama dan juga hari libur agama praktis tidak ada. Tentu saja, bagi
orang seperti saya dan juga mungkin anda , jelas sangat membingungkan.
Waktu mempelajari pelajaran sejarah dunia
saya diajarkan bahwa mayoritas penduduk Jepang beragama Buddha dan agama asli
mereka adalah Shinto. Penjelasan yang tentu saja tidak salah, karena dua tempat
ibadah itulah yang paling dominan bisa temukan di sini. Dari data yang
dikeluarkan oleh Departmen Pendidikan Jepang tahun 1992 menyebutkan dari
sekitar 120 juta penduduk Jepang yang ada, pengikut agama Shinto adalah 106.6
juta, Buddha 95,7 juta, Kristen 1.4 juta lain lain 10,8 juta. Apa yang aneh
dari data di atas ? Semua angka itu kalau dijumlah akan melebihi jumlah
penduduk Jepang ! Kanapa bisa begitu ? Hal ini disebabkan karena kebanyakan
orang Jepang memeluk dua agama secara bersamaan. Berdoa di kuil Shinto dan di
lain hari berdoa di kuil Budha adalah lazim dilakukan oleh kebanyakan orang
Jepang. Tata cara pencatatan datanya juga membingungkan. Pengurus kuil biasanya
akan mencatat semua penduduk di sekitar kuil adalah pengikutnya, demikian juga
dengan pengurus kuil agama lainnya.
Bingung ? Tentu saja dan mungkin akan lebih
bingung lagi kalau anda mengetahui bahwa kebanyakan orang muda jepang
melangsungkan pernikahannya di gereja, yang. Apakah mereka adalah pasangan yang
beragama Kristen ? Siapa yang peduli !
Shinto dan Buddha adalah dua hal yang tentu
saja berbeda, namun bagi orang jepang tidaklah terlalu penting. Apakah isi dan
ajaran dari masing masing agama itu bisa dipastikan tidak akan banyak
penjelasan yang bisa kita dapatkan dari mereka, bukan karena sifat tertutup
atau malas menjelaskan, tapi karena memang mereka benar benar tidak tahu ! Oang
Indonesia
tampaknya jauh lebih tahu tentang agama Buddha, walaupun mereka tidak memeluk
agama tersebut, dari pada orang jepang yang (mengaku) beragama Buddha. Shinto
lebih membingungkan lagi, karena tidak ada ajaran apapun yang tampakanya perlu
diajarkan.
Dalam hal agama, orang Jepang cendrung
bersikap dingin dan tidak peduli. Bagi mereka agama tidaklah cukup atau mungkin
juga dianggap tidak akan bisa mengatasi permasalahan sehari hari seperti
pelajaran di sekolah atau masalah di tempat kerja. Bahkan ada sebagian kecil
pendapat yang mengatakan, agama adalah untuk orang yang mengalami gangguan jiwa
! Weleh, kebanyakan orang kita pasti akan tidak setuju atau marah kalau
mendengar pendapat ini. Jadi berarti kebanyakan orang Indonesia
adalah orang yang mengidap ganguan jiwa, karena tiap hari berkutat dengan agama
? Tenang saja, saya dulu juga kaget dan sedikit marah mendengar pendapat miring
tersebut, "So what ?" Kalau orang yang sakit jiwa menjadi sehat
setelah diberi agama, tentu tidak ada yang salah bukan ? Persaingan, tekanan
hidup yang berlebihan, sakit yang tidak tersembuhkan kemiskinan atau kehilangan
tujuan hidup sering menjadikan agama sebagai jawabannya dari sebagian kecil
dari mereka. Dalam situasi yang normal, sehat dan wajar, kebanyakan orang
jepang tidak memerlukan agama dalam kehidupannya sehari hari.
Agama kadang dilihat sebagai sesuatu yang
negatif dan berbahaya, terutama sejak munculnya kasus gerakan Aum Shinrikyo
yang terkenal dengan serangan gas sharinnya. Teror dan perang atas nama agama
yang banyak terjadi belahan dunia lain, tampaknya seperti membenarkan pendapat
meraka dan membuat kecurigaan mereka agama seakan mendapat tempat.
Kebanyakan orang jepang cendrung menjawab,
"Tidak beragama" ketika ditanya tentang yang mereka anut. Jawabanya
yang sah sah saja, dan juga tidak akan ada yang mempersalahkan apalagi
ditangkap. Sebagian lagi mungkin akan menjawab “tidak tahu” atau bingung, harus
menjawab apa. Pertanyaan tentang agama cendrung umum ditanyakan oleh orang
asing, tidak bagi sesama orang jepang. Nah, bagi mereka yang tidak biasa atau
tidak pernah berkomunikasi dengan orang asing, mendadak ditodong dengan
pertanyaan "Agama lo apa ?" terang saja mereka bingung dan menjawab
tidak tahu. Walaupun mereka tidak beragama bukan berarti tidak percaya Tuhan,
seperti anggapan saya selama ini. Percaya pada Tuhan yang mereka sebut
Kami-sama, berdoa di kuil minimal setahun sekali, ketika pergantian tahun baru
tampaknya sudah cukup bagi kebanyakan mereka.
Bagi kebanyakan orang jepang, agama adalah
suatu kebebasan. Dengan beragama jiwa menjadi bebas. Siapapun bisa datang
dengan bebas ke kuil manapun dan kapan saja untuk berdoa seperti yang umum
dilakukan oleh kebanyakan orang Jepang. Berkunjung ke kuil, bukan untuk berdoa
tapi cuma untuk rekreasi atau sekedar ambil foto juga boleh boleh saja, yang
bukan hanya dilakukan oleh orang asing tapi kadang oleh orang jepang sendiri.
"Tidak boleh masuk, kecuali umat" atau "tidak boleh masuk
kecuali untuk sembahyang” hampir tidak dikenal, tapi di beberapa kuil berlaku
aturan “Tanpa membayar tidak boleh masuk”, karena selain sebagai tempat
sembahyang, kuil juga berfungsi sebagi tempat wisata. Walaupun tujuannya memang
benar benar untuk sembahyang, sama saja harus bayar penuh tanpa ada
diskriminasi diskount.
Namun walaupun kehidupan beragama mereka
berbebas ria, namun dalam tata krama etika sopan santun berprilaku dan
berbahasa sangat ketat bahkan bisa dikatakan keterlaluan. Bagi yang pernah
mempelajari bahasa jepang pasti tahu, bahwa untuk diri sendiri dipakai kata
yang biasa sedangkan untuk orang lain dipakai kata bentuk halus sebagai tanda
menghargai atau hormat, jadi satu kalimat dua kata yang berbeda tapi artinya
sama. Pilihan kata yang salah atau terbalik dianggap sebagai tidak tahu manner
atau tidak sopan, tanpa peduli betapa seringnya anda sembahyang.
Tolerasi kehidupan beragama
Ketika zaman Edo
(1603 - 1868) agama Kristen dilarang keras oleh pemrintah Shogun. Pengikutnya
dihukum mati atau diusir ke luar Jepang, namun sekarang hal itu tampaknya tidak
terjadi lagi. Gereja bisa kita jumpai di banyak tempat, bersebelahan dengan kuil
atau jinja. Jadi secara umum, tolerasi kehiduapan beragama bisa dikatakan
sangat bagus. Perusakan dan pembakaran tempat ibadah agama lain, yang dahulu
sering terjadi hampir tidak kita temukan sekarang ini. Dalam setiap acara pesta
atau perayaan, karena saya dari Indonesia,
pertanyaan seperti "Apakah bisa makan babi atau minum bir ?" hampir
selalu ditanyakan. Beberapa rekan lain bahkan mengatakan ada orang jepang yang
mengingatkan kalau arah kiblat sembahyang yang mungkin salah, karena melihat
orang lain yang sembahyang ke arah yang berbeda. Memang urusan agama adalah
urusan individu yang tidak akan dicampuri oleh pemerintahnya, yang berarti
perlakuan khusus, permohonan ruang, waktu atau libur khusus sembahyang bagi
yang bekerja misalnya, berarti juga tidak ada.
Komentar Pribadi
Tanpa agama, apakah mereka bisa bahagia ?
Apa tujuan hidup mereka ? Bagaimana mereka menjaga keseimbangan antara rohani
dan jasmaniah ? Bagaimana hubungannya dengan kasus bunuh diri yang banyak
terjadi di sana
? Adalah beberapa pertanyaan umum yang sering saya baca di berbagai blog
tentang jepang. Pertanyaan yang tampaknya wajar, namun apapun jawabannya
tampaknya tetap saja susah untuk kita mengerti, sama halnya dengan orang jepang
yang juga susah mengerti "keterikatan" kita yang menurut mereka
berlebihan dalam hal agama. Agama adalah ibarat bekerja bagi orang Indonesia,
tanpa bekerja kita tidak bisa hidup, sama halnya dengan bekerja adalah agama
bagi orang Jepang. Dengan penjelasan seperti mungkin bisa sedikit lebih mudah
diterima bagi orang Jepang. Mereka tampak bangga dengan budaya kerja kerasnya
dan orang orang yang tersisih karena kehilangan pekerjaan misalnya lebih
memilih untuk bunuh diri karena merasa kehilangan harga diri dan mungkin juga
pegangan hidup.
Hasil survey yang pernah dilakukan tentang
kepercayaan orang jepang terhadap agama, yang saya ambil dari buku Japan
Religion and Society Pradigms of Structure and Change, karangan Winston Davis,
1992, menunjukkan hasil yang cukup mencengangkan, hanya 12 % responden yang menganggap
kepercayaan agama adalah penting, 44% menganggap tidak penting, orang jepang
yang percaya pada Tuhan hanya 38 %, sisanya tidak percaya atau lebih suka
dengan menjawab tidak tahu ( terlampir ). Saya pribadi cuma bisa menduga duga ,
mungkin maksudnya adalah agama tidak penting namun tindakan nyata dengan
berprilaku yang baik adalah lebih penting. Tingkat keamanan, ketertiban dan
sopan santun mereka mungkin bisa dijadikan indikasi. Sedangkan keengganan
mereka menjawab tentang keberadaan Tuhan juga tampaknya dipengaruhi oleh ajaran
Buddha yang berbau agnostik ( atheis ?) karena lebih menekankan ke arah
perbaikan prilaku dan pencarian diri dibanding kan dengan pencarian Tuhan. "Apa nama
Tuhan dalam agama Buddha ?" tampaknya susah untuk di jawab, sedangkan kepercayaan
asli mereka Shinto, mungkin relatif lebih baik, karena setidaknya ada kata
"Kami-sama" untuk menunjuk nama Tuhan. Tentu saja, semua itu hanyalah
pendapat saya pribadi saja.
Note : Sebetulnya penggunaan istilah Kuil
Shinto untuk Jingja juga kurang tepat benar, karena kuil Shinto hanya ada
beberapa buah saja, salah satunya adalah Kuil Yakuzuni, yang menghebohkan
karena di juga dipakai untuk menghormati tentara yang gugur saat PD II. Namun
kebanyakan orang terutama orang asing terlajur mengenal Jinja sebagai kuil
Shinto. Kalau perbedaan antara Shinto dan Jinja serta bagaimana Jinja bisa
berubah menjadi berkonotasi Shinto dibahas disini, ceritanya akan menjadi
semakin panjang dan membingungkan dan mungkin juga membosankan, jadi sebaiknya
diakhiri saja.
Itulah sedikit cerita tentang kehidupan
beragama masyarakat Jepang.
* Festival Salju Iwate (Koiwai Farm,
Shizukuishi, Prefektur Iwate, bulan Februari)
* YOSAKOI Soran Matsuri (Sapporo, Hokkaido,
bulan Juni)
* Niigata Odori Matsuri (Niigata, Prefektur Niigata, pertengahan bulan
September)
* Odawara Hojo Godai Matsuri (kota Odawara, Prefektur
Kanagawa)
* Yosakoi Matsuri (kota Kochi,
Prefektur Kochi, 9-12 Agustus)
* Hakata dontaku (3-4 April, kota Fukuoka)
* Hamamatsu Matsuri (3-5 Mei, kota Hamamatsu, Prefektur Shizuoka)
* Wasshoi Hyakuman Natsu Matsuri (kota Kita Kyushu, Prefektur Fukuoka, hari Sabtu minggu pertama
bulan Agustus)
dikutip dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Matsuri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar