Prof. Soenjono Dardjowidjojo, Ph.D., seorang guru besar linguistik bahasa Inggris lulusan Georgetown University Amerika, mengatakan hanya manusia yang ditakdirkan untuk bisa berbahasa. Tuhan khusus menciptakan mekanisme agar manusia punya kemampuan untuk berbahasa, Hal ini jelas terlihat pada struktur otak manusia, yang berbeda dengan otak binatang paling cerdas seperti simpanse sekalipun.
Struktur otak manusia terbagi atas beberapa daerah. Ada yang dinamakan daerah Wernicke, daerah Broca, motor cortex, yang bertugas mengontrol alat-alat penyuaraan manusia sehingga memungkinkan manusia berbicara.
Dari segi fisiologi, konstruksi mulut manusia tidak sama dengan binatang. Dari segi biologi dan neurologi, binatang sudah bisa berbuat banyak begitu dilahirkan, karena otaknya sudah 70% dari otak dewasa. Sementara otak bayi manusia saat lahir hanya 20 - 25% dari otak manusia dewasa. Itu sebabnya manusia perlu waktu lama untuk mengembangkan otaknya.
Seorang manusia yang ingin memahami suatu ujaran, harus melalui proses mental yang sangat panjang. Pertama, harus bisa mendengar dan membedakan bunyi satu dengan yang lain. Kemudian, harus bisa mengurutkan satu bunyi dengan bunyi yang lain, semisal, mampu membedakan bunyi kata "papi" yang terdiri atas "pa" dan "pi". Prosesnya tidak mudah sebab terjadi secara mental di dalam otak. Proses berikutnya, sesudah mendengar dan menyerap apa yang didengar, ia harus mencari maknanya.
Nah, bagaimana manusia memproses suatu rentetan bunyi sehingga menjadi suatu makna? Itu juga perlu proses mental. Ujaran yang berbunyi Tanaka mencintai Yukiko berbeda dengan ujaran Yukiko mencintai Tanaka. Si pendengar harus mengerti sintaksis kalimat atau urutan antarkata yang membentuk kalimat itu, sehingga pesan yang disampaikan si pembicara dapat diterima sebagaimana diinginkan si pembicara.
|
|
Noam Chomsky, ahli bahasa kenamaan dari Amerika, mengatakan seorang anak tidak dilahirkan bak piring kosong, atau tabularasa. Begitu dilahirkan ia sudah dilengkapi dengan perangkat bahasa yang dinamakan Language Acquisition Device (LAD), perangkat LAD ini bersifat universal, dibawa anak sejak lahir, sehingga dapat dikatakan ia sudah dibekali pengetahuan tertentu tentang bahasa. Yang dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasanya hanyalah masukan guna mengaktifkan tombol-tombol universal itu. Sesungguhnya, perangkat bahasa inilah yang memungkinkan anak bisa memperoleh bahasa apa pun.
Andai seorang anak Indonesia dilahirkan di Hiroshima , selama satu-dua tahun memakai bahasa Jepang, bergaul dengan anak-anak yang berbahasa Jepang, ia tidak hanya bisa berbahasa Jepang, tetapi bahasa Jepangnya akan serupa dengan bunyi bahasa Jepang penduduk Hiroshima.
Boleh dibilang, yang membedakan kemampuan anak satu dengan yang lain dalam berbahasa terletak pada masukan yang diberikan padanya. Karena masukan yang diterima adalah bahasa Jepang ala Hiroshima , maka yang dikuasai si anak adalah bahasa Jepang Logat Hiroshima . Bila ia dilahirkan di Cina, yang akan muncul adalah bahasa Cina yang persis seperti orang Cina asli.
Jadi berbahagialah bagi mereka yang bisa hidup di luar negeri bersama dengan buah hati tercinta, setiap orang tua akan bisa menyaksikan fenomena yang menakjubkan dari kemampuan sianak berbahasa, baik itu bahasa asing atau bahasa ibu sendiri, setiap hari rasanya kita selalu menantikan kosakata atau ujaran apa saja yang nanti akan diucapkan oleh buah hati kita ini.
Walaupun demikian ada kekhwatiran anak yang dibesarkan dilingkungan bahasa yang berbeda dengan bahasa Ibunya, akan menimbulkan masalah bagi kehidupan anak ketika kembali ke tanah air. Ini merupakan salah satu tantangan sekaligus pekerjaan rumah bagi orang tua agar anaknya tetap bisa berkomunikasi dalam bahasa ibu di lingkungan keluarga dan berbahasa sesuai dengan lingkungan dimana ia tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar